06 Oktober 2015

Kurikulum 2013, Apa Esensinya?

Satu hal yang cukup menarik untuk dibicarakan dalam dunia pendidikan saat ini adalah Kurikulum 2013, kurikulum yang diberi nama sesuai dengan tahun kelahirannya. Ada begitu banyak topik yang bisa dibicarakan ketika membahas hal ini. Mulai dari guru yang jamnya berkurang, atau yang justru bertambah, instrumen penilaian yang semakin rumit, materi yang tingkat kesukarannya dianggap semakin tinggi, sampai dengan belum jelasnya materi UN karena ada 2 kurikulum yang diterapkan di negara ini (KTSP 2006 dan Kurikulum 2013).

Atas izin Allah SWT, saya termasuk orang yang berkesempatan menyambut lahirnya Kurikulum 2013 lebih awal. Sampai dengan artikel ini ditulis, saya sudah mengikuti 5 kali pelatihan yang berkaitan langsung dengan implementasi Kurikulum 2013. Masing-masing di tahun 2013, 2014, dan 2015. Secara materi memang tidak ada perubahan yang begitu signifikan dari kelima pelatihan yang saya ikuti. Secara konseptual, Kurikulum 2013 memiliki keunggulan tersendiri karena bertujuan menciptakan generasi yang unggul dalam sikap spritual dan sosial, memiliki wawasan iptek, dan kreatif. Kompetensi tidak lagi diturunkan dari mata pelajaran (mapel), namun dari kebutuhan masyarakat/ global/ pasar. Sebaliknya, mata pelajaran diturunkan dari kompetensi. Ini bisa dipahami, bahwa porsi mata pelajaran bisa ditambah, dikurangi, atau bahkan dihilangkan sesuai dengan tuntutan kompetensi yang ingin dicapai.

Dari sekian banyak pelatihan dan dialektika yang saya ikuti, saya menangkap esensi dari pemberlakuan Kurikulum 2013 ini adalah penyiapan mental, intelektual, dan spiritual dalam menghadapi perubahan yang begitu cepat di era globalisasi dan TI sekarang ini. Sebelum kita membaca silabus dan menyusun RPP, ada baiknya kita tangkap dulu esensi perubahan kurikulum dan kita endapkan di dalam otak. Mengapa demikian? Cita-cita Kurikulum 2013 yang menuntut para insan akademik (guru dan siswa) untuk berpikir terbuka justru tidak tercapai secara optimal karena terbentur birokrasi dan administrasi yang njlimet dan ruwet.

Lalu dimulai dari manakah perubahan itu pada diri kita? Kesampingkan sejenak urusan administrasi, mari berlatih untuk berpikir terbuka. Sederhana saja, belajarlah mencari informasi sebanyak mungkin dari berbagai sumber, lalu diolah menjadi sesuatu yang baru atau kita sajikan informasi baru yang lebih menarik. Sebagai contoh, seorang guru baru saja menyaksikan berita televisi tentang kabut asap di Sumatera dan ingin menyampaikan berita tersebut kepada siswanya. Guru yang berpikiran terbuka tidak serta merta menceritakan begitu saja, tetapi mencari informasi lain yang memandang masalah kabut asap dari perspektif lingkungan, hukum, sosial, ekonomi, hubungan antar negara dan sebagainya. Kemudian mencari dokumentasi tentang peristiwa tersebut secara bervariasi. Setelah semua informasi terkumpul, guru mengolah dan menyajikan dengan bahasa yang lebih menarik karena informasi baru yang disampaikan lebih kaya akan wawasan. Akan lebih bagus lagi apabila guru tersebut mampu menciptakan opini tertentu dalam pikiran siswanya berdasarkan informasi yang diberikan

Selain contoh tentang guru dan siswa di atas, ada juga contoh lain di dunia usaha yang patut dijadikan pelajaran. Perusahaan kamera analog/ tustel “Kodak” dahulu adalah perusahaan yang bisa dibilang kaya dari penjualan kamera. Karena merasa sudah kaya, bos-bos perusahaan ini menjadi kurang peka terhadap kebutuhan masyarakat. Pada saat bersamaan, Sony melakukan riset yang dengan biaya jutaan rupiah untuk menciptakan kamera digital. Hasilnya bisa dilihat sekarang, Kodak seperti “terkubur hidup-hidup” oleh kamera berteknologi digital karena tidak mau terbuka dengan perubahan yang terjadi.

Dua contoh di atas bisa juga dikatakan sebagai contoh tentang kreativitas dan keuntungan dari berpikir kreatif. Mau bertahan hidup di era globalisasi dan TI seperti sekarang ini? Kuncinya adalah KREATIF. Jumlah sekolah, madrasah, pesantren, LPK, kampus, bimbel dan semacamnya sudah banyak, sehingga sekarang banyak orang pintar. Siapa yang unggul dalam persaingan? ya tentu yang kreatif.

Apakah memang betul, Kurikulum 2013 itu ujung-ujungnya harus kreatif? Silahkan dicek, pada taksonomi ranah sikap, tingkat tertinggi adalah MENGAMALKAN. Pada taksonomi ranah pengetahuan, tingkat tertinggi adalah MENGKREASI, dan pada taksonomi ranah keterampilan, tingkat tertinggi adalah MENCIPTA. Hal ini menunjukkan bahwa cita-cita Kurikulum 2013 adalah membentuk generasi yang bisa mengamalkan apa yang diyakininya dan bisa memunculkan atau membuat sesuatu yang baru sesuai dengan ilmu pengetahuannya.

So, mari kita laksanakan Kurikulum 2013 ini dengan pikiran dan langkah-langkah yang kreatif. Bagi para guru, apabila administrasi kurikulum 2013 memberatkan, hadapi dengan cara-cara yang kreatif. Bagi para siswa, apabila pelaksanaan kurikulum 2013 memberatkan, hadapi dengan cara-cara yang kreatif juga. Kata Gus Dur: gitu aja kok repot

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana tanggapan Anda tentang artikel ini? yuk tulis di kolom komentar