23 Desember 2014

Makna Istilah "Metakognitif" pada Kurikulum 2013

Semenjak diberlakukannya Kurikulum 2013 di negeri ini, muncul istilah baru  pada Standar Kompetensi Lulusan (SKL), yakni istilah "metakognitif". 
Memiliki pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif dalam ilmu pengetahuan,  teknologi, seni,  dan budaya dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan,  dan peradaban terkait penyebab serta dampak fenomena dan kejadian.
Lalu apa makna dari istilah ini?
Garofalo dan Lester (JRME), dua ahli pendidikan matematika yang sangat terkenal dari Amerika Serikat telah menunjukkan pentingnya metakognisi dengan menyatakan: “There is also growing support for the view that purely cognitive analyses of mathematical performance are inadequate because they overlook metacognitive actions.” Artinya, terdapat dukungan pada pendapat bahwa hanya menggunakan analisis kognitif pada kemampuan matematis adalah tidak atau kurang memadai karena mereka kurang memperhatikan prosedur yang berkait dengan metakonitif. Itulah sebabnya, salah satu kelebihan Kurikulum 2013 adalah pencantuman istilah metakognisi dalam dukumennya (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2012:43)

Hal ini menunjukkan bahwa unjuk kerja (performance) seorang siswa dengan hanya melihat pada aspek kognitifnya saja, dan dengan mengacuhkan aspek metakognitifnya adalah belum cukup. Diperlukan kepaduan analisis, baik kognitif maupun metakognitif yang berkait dengan unjuk kerja seseorang. Alasannya, keberhasilan unjuk kerja kognitif sangat ditentukan juga oleh pengetahuan, kesadaran, dan kontrol terhadap pengetahuan yang sudah dimilikinya itu. Pertanyaan yang dapat dimunculkan: Apa yang dimaksud dengan metakognitif itu? Bagaimana metakognitif dapat dikembangkan di kelas?

Pengertian Metakognisi
Seorang siswa SMP pernah mendapat nilai 4 untuk ulangan matematika. Padahal dua hari sebelumnya, ketika gurunya membahas topik tersebut dan mengumumkan akan mengadakan ulangan, ia sangat yakin akan mendapat nilai baik. Ia menginginkan kejadian seperti itu tidak terulang dengan jalan melakukan refleksi diri (self reflection), yaitu merenungkan kembali hal­hal yang sudah maupun yang belum dikerjakan untuk menjawab pertanyaan mengapa dirinya yang sudah menguasai topik tersebut menjadi tidak bisa berbuat apa­apa lagi dalam selang waktu hanya dua hari saja.
Beberapa hari kemudian, sang guru melanjutkan ke topik baru. Seperti biasa, selama PBM di kelas, si siswa menguasai topik tersebut. Untuk mengetes dirinya sendiri, ia lalu mencoba mengerjakan salah satu soal tanpa melihat catatan. Ternyata seperti pada saat ulangan, ia tidak berhasil mengerjakan soal tersebut dengan baik. Ia mengalami kesulitan. Setelah dua kali melihat catatan, barulah ia dapat menyelesaikannya. Beberapa jam kemudian ia mencoba mengerjakan soal lain yang mirip, lagi­lagi ia harus melihat catatannya satu kali. Sadarlah si siswa tadi bahwa pengetahuan yang didapat selama PBM di kelas dapat hilang begitu saja. Ia juga mengetahui bahwa salah satu cara agar pengetahuannya tidak hilang begitu saja adalah dengan mengulang­ulang pelajaran tersebut beberapa kali. Proses berpikir yang dilakukan siswa itu sampai ia menyadari kemampuan otaknya sendiri yang sangat terbatas dan mengetahui cara mengatasi kelemahannya tadi merupakan salah satu contoh pengetahuan metakognitif.
Seorang siswa dapat memiliki pengetahuan tentang planet, panas, perjuangan Pangeran Diponegoro, dan dapat juga memiliki pengetahuan tentang kemampuan berpikirnya sendiri. Pengetahuan tentang planet, perjuangan Pangeran Diponegoro dan panas bukanlah metakognisi. Namun pengetahuan tentang kemampuan berpikir diri siswa itu sendiri itulah yang merupakan hasil dari proses metakognisi. Berdasar pendapat Flavell sebagaimana dikutip Schoenfeld (1985:363), metakognisi mengacu pada:
1.Pengetahuan atau kesadaran seseorang tentang proses berpikir dirinya sendiri, seperti: “Saya sudah menguasai bahan ini.”
2.Pengendalian diri (kontrol atau self regulation) selama berpikir, seperti “saya harus melakukan kegiatan A, lalu kegiatan B dan saya harus hati­-hati di bagian C.”


Berdasar definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa istilah metakognitif mengacu pada dua hal yang berbeda namun sangat berkait. Dari hal pertama akan nampak bahwa metakognitif mengacu kepada pengetahuan dan keyakinan seseorang terhadap kemampuan, kekuatan, kelemahan kognitif diri orang itu sendiri. Siswa yang berkeyakinan dan memiliki pengetahuan bahwa ia lemah di bagian menghafal, menguasai dengan baik bagian perkalian namun lemah pada bagian pembagian merupakan contoh­contoh dari hal pertama yang berkait dengan metakognitif ini. Berdasar hal pertama itulah, hal kedua yang berkait dengan istilah metakognitif dapat dikembangkan, yaitu pengaturan dan kontrol terhadap tindakan kognitif diri orang itu sendiri dapat dilakukan. Contohnya, jika seorang siswa meyakini dirinya lemah di bagian tertentu, maka ia harus dapat mengontrol dirinya sendiri untuk mau belajar lebih giat dan lebih tekun. Jika ia mengetahui juga bahwa kelemahan tersebut disebabkan oleh hal­hal tertentu maka ia harus mengontrol dirinya sendiri untuk lebih giat dan lebih tekun di bagian yang dirasakannya menjadi penyebab munculnya kelemahan tersebut.

Contoh Metakognisi
Berdasarkan definisi di atas, dapat dikemukakan beberapa contoh metakognisi yang berupa pengetahuan atau kesadaran siswa berikut ini.
  1. “Bahan ini nampaknya sangat sulit. Sudah 15 menit saya belajar namun belum ada satu bagian kecilpun yang saya kuasai. Agar saya berhasil mempelajari materi ini, mau tidak mau, saya harus lebih berkonsentrasi.”
  2. “Ah, kalau saya tidak membaca ulang contoh ini, berdasar pada pengalaman yang sudah terjadi, saya akan lupa satu atau dua hari lagi. Sebagai akibatnya, saya akan mendapat nilai jelek pada saat ulangan.”
  3. “Untuk menguasai topik ini dengan baik, dibutuhkan waktu kurang lebih satu setengah jam karena banyak hal yang harus diperhatikan.”
  4. “Saya harus lebih berhati­hati di saat mengalikan dua bilangan seperti 234 × 453 ini karena saya sudah pernah salah dua kali. Kalau tidak hati­hati, saya akan mendapat nilai jelek pada saat ulangan”
  5. “Untuk memecahkan soal seperti ini, saya harus membuat gambar corat­coret untuk membantu kemampuan mengingat yang sangat terbatas pada otak saya ini. Kalau tidak, kelihannya saya tidak akan mungkin memecahkan masalah seperti ini.”
  6. “Saya tidak mungkin memecahkan soal dengan bilangan­bilangan besar seperti ini. Saya harus menggantinya dengan bilangan­bilangan sederhana lebih dahulu untuk mengetahui langkah­langkah yang harus dilakukan.”
  7. “Kemungkinan besar saya telah keliru menggunakan cara ini. Hasilnya tidak menjadi semakin sedehana. Bentuknya malah menjadi semakin ruwet Saya harus mencoba cara lain.”
  8.  “Sudah tiga kali saya tergesa­gesa menarik kesimpulan. Saya harus mencoba menggunakan bilangan negatif dan pecahan lebih dahulu untuk meyakinkan diri saya sendiri bahwa kesimpulan ini benar adanya.”
  9.  “Topik ini baru setengah saja yang saya kuasai.”

Pentingnya Metakognisi dan Peran Penting Guru
Sebagaimana diceritakan di bagian depan bahwa ada siswa yang dengan proses refleksi diri berhasil menemukan atau mendapatkan pengetahuan tentang kemampuan otaknya yang sangat terbatas. Dengan pengetahuan tersebut ia dapat memerintah atau mengontrol dirinya sendiri untuk mengulang­ulang pelajaran yang sudah didapat selama PBM agar tidak hilang begitu saja.
Namun di kelas yang kita asuh, tidak semua siswa berlaku seperti itu. Ada siswa yang tidak atau belum mengetahui keterbatasan otaknya sehingga ia tidak perlu mengontrol dirinya sendiri untuk mengulang­ulang pelajaran yang sudah didapat selama PBM agar tidak begitu saja. Dengan demikian jelaslah bahwa siswa yang memiliki pengetahuan metakognisi akan mengendalikan atau mengontrol dirinya sendiri untuk melakukan sesuatu yang menguntungkan ataupun tidak melakukan sesuatu yang merugikan proses belajarnya. Kesimpulannya siswa yang memiliki pengetahuan metakognisi akan jauh lebih baik proses belajarnya, daripada siswa yang tidak memilikinya.

Bayangkan jika siswa yang dapat nilai 4 tadi tidak melakukan refleksi diri. Sebagai akibatnya, ia tidak akan memiliki pengetahuan tentang keterbatasan kemampuan berpikirnya sendiri, sehingga ia tidak merasa perlu untuk mengontrol atau mengendalikan dirinya untuk melakukan ataupun tidak melakukan sesuatu. Hal seperti ini jelas kurang baik jika dibiarkan saja, maka guru harus membantu setiap siswa, tidak peduli siswa tersebut meminta bantuannya atau tidak. Salah satu tugas seorang guru yang berkait dengan metakognisi adalah menyuruh siswanya yang mendapat nilai jelek untuk melakukan perenungan diri, memikirkan kembali apa­apa yang sudah dibuat dan yang belum agar ia tidak mendapat nilai yang jelek lagi.

Di setiap kelas, akan ada siswa yang cerdas dan tidak sedikit pula yang biasa-­biasa saja. Ada siswa yang tanpa diminta telah melakukan refleksi diri dengan baik. Namun akan ada sebagian siswa yang tidak atau belum menyadari keterbatasan otaknya. Sekali lagi, seorang guru harus mau membantu setiap siswanya, agar mereka menyadari akan kesalahan belajarnya. Oleh sebab itu, tugas penting seorang guru adalah membantu siswa agar mereka memiliki pengetahuan metakognisi yang lebih lengkap. Sebagai misal, seorang siswa yang sering kurang teliti, perlu disadarkan bahwa ia memiliki sifat itu. Ketika memeriksa pekerjaannya, Bapak atau Ibu Guru sudah seharusnya memberi tanda­tanda khusus bahwa ia kurang teliti. Kalau perlu ia dapat memotong nilai anak tersebut agar ia tidak menjadi terbiasa.

Untuk membantu menyadarkan siswanya, para guru dapat menggunakan pertanyaan, seperti:
1. “Bagian mana dari topik ini yang belum kamu kuasai dengan baik?”
2. “Mengapa pekerjaanmu untuk soal nomor 3 ini salah?”
3. “Dapatkah kamu mengerjakan soal ini tanpa melihat catatan?”
4. “Selama PBM di kelas, kamu dapat menyelesaikan soal dengan baik, tetapi waktu ulangan mendapat nilai 4. Coba pikir baik­baik, mengapa hal ini bisa terjadi?”
5. “Kamu menyatakan bahwa kamu kurang teliti. Bapak setuju.


Sebagai rangkuman, apa yang dipaparkan di atas menunjukkan pentingnya para siswa mengetahui atau menyadari kekurangan maupun kelebihan dari kemampuan berpikirnya. Dengan demikian siswa yang memiliki pengetahuan metakognitif akan dapat mengontrol dirinya sendiri untuk melakukan ataupun tidak melakukan sesuatu. Sebagai akibatnya, siswa yang memiliki pengetahuan metakognisi diharapkan akan jauh lebih baik prestasinya daripada siswa yang tidak memilikinya. Jadi, merupakan tugas mulia seorang guru untuk membantu siswanya sehingga mereka memiliki pengetahuan metakognitif yang lebih lengkap sejalan dengan bertambahnya usia dan pengalamannya.

Referensi
Naskah: Artikel di p4tkmatematika.org oleh Pak Fajar Shadiq
Gambar: disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana tanggapan Anda tentang artikel ini? yuk tulis di kolom komentar