26 Mei 2012

Lulus UN Masih Menjadi Target Mayoritas Sekolah

Setiap tahun, polemik Ujian Nasional (UN) terus bergulir. Meski demikian, pemerintah tetap keukeuh menggelar hajat nasional tahunan dalam dunia pendidikan tersebut.

Rektor Binus University Harjanto Prabowo menilai, UN sebagai standar dalam pendidikan nasional memang masih diperlukan. Tetapi bagi beberapa sekolah, kelulusan 100 persen bukanlah hal utama yang mereka kejar.

"Sekolah-sekolah bagus ini sudah tidak bangga lagi dengan kelulusan 100 persen karena mereka juga telah menerapkan standar pendidikan yang lebih tinggi dari standar nasional," kata Harjanto dalam kegiatan School Executive Excursion Program 2012 besutan Binus University dnegan Acer di Hotel Furama Riverfront, Singapura, Selasa (8/5/2012).

Menurut Harjanto, jika sekolah ingin melakukan perubahan, maka yang jadi perhatian bukan lagi pada perkara UN, tetapi menyiapkan generasi pemimpin yang dapat bersaing di tingkat global. Dia mengimbuhkan, sekolah-sekolah yang menjalankan proses pendidikannya dengan baik ini tidak akan gusar dengan kemampuan para muridnya menyelesaikan soal-soal UN.

Tetapi yang sering terjadi, katanya, mutu baik yang mereka miliki justru tertarik lagi ke bawah karena kecemasan orangtua para siswa. Misalnya, orangtua melihat sekolah lain menggelar try out, sementara sekolah anaknya tidak. Maka orangtua pun akan mendesak si anak dan sekolahnya untuk menggelar try out.

"Ketiadaan try out mereka anggap sebagai ketidaksiapan si anak mengikuti UN. Akibatnya, sekolah dan siswa yang tadinya tenang menghadapi UN malah jadi tertekan. Belum lagi dengan penjagaan ketat oleh polisi," tuturnya.

Harjanto mengaku tidak bermasalah dengan keberadaan UN. Menurutnya, UN masih diperlukan untuk mengevaluasi pendidikan. Meski demikian, bagi Harjanto, UN tidak sepenuhnya dapat membedakan sekolah mana yang bagus dan mana yang kurang mutunya.

Pasalnya, karena mengejar kelulusan 100 persen, maka banyak sekolah berlomba "memperbaiki" nilai siswa-siswanya. Hal ini terlihat dari banyaknya nilai bagus di rapor siswa, mengingat porsi perhitungan nilai rapor sekolah hanyalah 40 persen, sedangkan nilai UN 60 persen.
 
Fenomena lain yang juga terjadi adalah, karena mengejar kelulusan 100 persen, sekolah pun berubah layaknya bimbingan belajar. Setiap hari sekolah hanya menggelar try out dan mengesampingkan mata pelajaran lain yang tidak di-UN-kan seperti seni dan olahraga.

"Hal ini terjadi karena semua sekolah mau meluluskan siswanya dengan nilai tinggi. Maka mereka pun mengatrol nilai di rapor. Di Indonesia, sepertinya haram meraih nilai 65, dan semua mencintai nilai 100," ujar Harjanto.

Rektor mengimbuhkan, meski menuai polemik, dia melihat banyak sekolah tidak kesulitan untuk terus berinovasi meski "dihantui" UN. Tetapi, Harjanto mengingatkan, UN sebaiknya tidak lagi membuat semua lini pendidikan ikut stres.

Sekolah yang tertekan karena target yang ditetapkan pemerintah akan mewajibkan try out bagi para siswanya. Orangtua juga menekan siswa untuk mengikuti try out agar "siap" menghadapi UN. Sementara siswa, ikut tertekan melihat penjagaan ketat dari polisi selama UN berlangsung. "Tekanan hanya akan berdampak buruk ke siswa. Padahal, sejatinya pendidikan adalah memberi kebebasan pada anak untuk mengembangkan kemampuan dirinya," kata Harjanto tegas.

Sumber: KR Jogja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana tanggapan Anda tentang artikel ini? yuk tulis di kolom komentar